GANG-gang sempit di kawasan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, bagai labirin tak bertepi. Namun, di gang yang remang-remang itu justru surga makanan Tionghoa berada. Di sana kita bisa mengunyah cerita tentang gelombang imigran orang China ke Batavia.
Nama kudapan itu rujak shanghai. Namun, percayalah, menu itu tidak akan Anda temukan di kota Shanghai, China. "Ini resep karangan ibu saya. Bisa-bisa ibu saya saja," ujar Ahung (59), generasi kedua penerus kedua Rujak Shanghai Stand 68 yang sudah ada sejak tahun 1950 di kawasan Pancoran, Glodok.
Lantas, dari mana nama "shanghai" berasal? Ahung menceritakan, dulu ibunya berjualan rujak di dekat Bioskop Shanghai. Para pelanggannya kemudian menamai rujak buatan ibunya dengan nama rujak shanghai. Bioskop Shanghai sudah lenyap sejak tahun 1960-an, tetapi kata shanghai tetap melekat di rujak buatan perempuan asal Gonghu (Kanton) itu.
Kami bertandang ke kedai tempat Ahung berjualan rujak shanghai pertengahan Juni lalu. Ia memotong juhi (sotong), ubur-ubur kering, kangkung, dan lobak yang telah diseduh. Bahan-bahan itu disusun di piring lantas disiram dengan saus sagu berwarna merah jambu.
Kemudian Ahung menaburkan kacang tanah yang digerus kasar. Tekstur juhi kering yang telah diseduh itu mirip kikil sapi dalam versi lebih lembut. Rasanya netral berpadu dengan kuah rujak yang ramai. Ada aroma bawang putih yang kuat, saus tomat yang asam-manis, kacang yang gurih, dan sambal cabai yang pedas.
Secara keseluruhan, rujak shanghai mirip kombinasi salad khas Tiongkok dengan sotong dingin dan "rujak kangkung" bercitarasa Jawa. Satu porsi rujak yang menantang itu dihargai Rp 25.000.
Selain rujak shanghai, kawasan Glodok menyimpan segudang menu peranakan lain. Kadang lokasi warungnya tersembunyi di gang-gang tersempit, seperti sebuah warung asinan tak bernama di Gang Kecap di belakang Toko Tian Liong di Jalan Pancoran.
Warung yang sudah puluhan tahun beroperasi itu menyajikan asinan sayur berbumbu saus kacang tanah. Sekilas bentuknya mirip dengan asinan betawi yang bersayur sawi asin, wortel, taoge, kubis, tahu, lokio, dan kerupuk merah atau kerupuk mi. Hanya saja, kuah asinan di Gang Kecap itu beraroma bawang putih lebih kuat.
Aneka masakan peranakan juga bisa kita temukan di Gang Gloria. Baru masuk ke mulut gang, aneka bau makanan yang lezat langsung menyergap. Di sana ada penjual soto mi, siomay, bakpao, nasi tim ayam, bebek panggang, lumpia, dan sejumlah menu berbahan dasar daging babi yang cenderung bercitarasa totok, seperti sekba dan bebek tim. Meski namanya bebek, entah mengapa, bahannya terbuat dari jeroan babi dan sawi asin.
Tian Li Tong (69), sesepuh di komunitas pedagang Kota Tua di Pancoran, Glodok, mengatakan, kawasan itu seperti "arena pertempuran" makanan Tionghoa totok dan makanan babah.
Istilah Tionghoa totok yang dimaksud Tian sekarang tidak merujuk pada asal-usul darah seseorang, melainkan orientasi budaya Tiongkok. Sementara itu, istilah babah yang Tian maksud adalah Tionghoa peranakan yang sudah melebur dalam tradisi dan budaya Indonesia.
Totok dan babah
Terbentuknya lanskap kuliner di Glodok, Pancoran, tidak terlepas dari peristiwa besar di awal bulan Oktober 1740, yakni pembantaian terhadap ribuan orang Tionghoa di dalam Benteng Batavia yang memicu Perang Sepanjang. Dalam narasi lokal di Mataram, peristiwa itu disebut Geger Pacinan, sementara di Rembang, Lasem, disebut Perang Kuning. Akibat peristiwa tersebut, warga Tionghoa di Batavia dalam sekejap hilang karena terbunuh atau melarikan diri.
Setahun sebelum pembantaian, orang Tionghoa di sisi timur Benteng Batavia tercatat 1.624 orang, di sisi barat 2.196 orang, dan di permukiman selatan ada 569 orang. Setelah pembantaian, tidak ditemukan orang Tionghoa di sisi timur ataupun barat. Adapun di permukiman selatan hanya tersisa enam perempuan dan seorang anak berusia 14 tahun (JT Vermeulen, Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740).
Luar kota
Akibat lenyapnya orang Tionghoa, perekonomian Pemerintah Hindia Belanda kocar-kacir. Bahan makanan langka dan harga-harga meroket tajam. Pada akhirnya Belanda membujuk kembali orang Tionghoa yang menguasai perekonomian dan perdagangan untuk menetap kembali di Batavia.
Namun, lokasinya bukan di dalam kota, melainkan di sebelah barat kota yang terpisah dari masyarakat lainnya. Daerah pecinan itulah yang sekarang dikenal sebagai Glodok (Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun). Imigran dari China pun secara bertahap berdatangan dan mencapai puncaknya pada abad ke-19.
Tian Li Tong mengatakan, orang Tionghoa di kawasan Glodok yang dianggap totok umumnya datang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menurut catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, setelah Terusan Suez dibuka tahun 1869, emigrasi dari China kian deras, termasuk perempuan China yang pada migrasi sebelumnya tak ikut serta.
Kehadiran perempuan dari China segera menghambat proses peleburan laki-laki China ke dalam budaya lokal yang telah berlangsung sejak awal abad ke-16 lewat perkawinan campur. Pasalnya, para perempuan China mendorong rumah tangganya di perantauan untuk berorientasi lagi ke budaya leluhur.
Dalam konteks kuliner, mereka membawa citarasa totok. Tian Li Tong mengatakan, sampai saat ini kita bisa dengan mudah mengklasifikasikan makanan yang dijual berdasarkan latar belakang pedagangnya. "Yang jual soto mi di sini sudah pasti orang China Benteng yang lebih melebur dengan budaya lokal. Yang totok jualan menu totok," kata Tian.
Selain itu, menurut penulis kuliner peranakan Aji Bromokusumo, di Pancoran, Glodok, juga muncul kuliner hasil akulturasi yang baru, seperti kopi di Kedai Kopi Tak Kie. "Orang Tionghoa zaman dulu hampir pasti tidak mengenal kopi dan tidak suka kopi, bahkan sampai sekarang. Mereka lebih suka teh. Jadi, menu kopi di kedai itu umurnya belum lama, yakni sejak 1920-an," ujar Aji.
Pada periode itu, Pancoran mulai menjadi salah satu pusat kuliner. Tidak hanya warung-warung tenda dan kaki lima, restoran baru pun berdiri. Belakangan, menu-menu baru juga bermunculan, salah satu di antaranya rujak shanghai.
Menu babah dan totok pada akhirnya memperkaya khazanah kuliner Tionghoa di Pancoran, Glodok. Datanglah, dan para pedagang akan menyambut Anda dengan tawaran yang riuh.
"Coba nasi tim, Pak! Siomay, bektim, sekba. Soto mi juga ada." Tinggal memilih, kan? (Iwan Santosa dan Budi Suwarna)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : I Made Asdhiana