Harta di darat dan di laut itulah yang menarik bangsa-bangsa dunia datang ke Maluku, sejak dulu hingga kini. Tak sekadar ingin turut mencicipi berkah karunia alam, ada pula yang tamak ingin menguasainya. Namun, dari perjumpaan dengan bangsa-bangsa dunia itulah, peradaban Maluku saat ini dibangun.
Maluku terhampar di atas lautan mulai dari bagian barat daya Samudra Pasifik di utara hingga sisi timur Samudra Hindia di bagian selatan. Sebanyak 2.924 pulau tersebar di atasnya, mulai dari Ujung Halmahera yang berbatasan dengan Palau hingga Tenggara Jauh yang bertetangga dengan Timor Leste dan Australia.
Terbagi dalam dua provinsi: Maluku dan Maluku Utara, 17 kabupaten, dan empat kota, Kepulauan Maluku menjadi tempat bagi 2,6 juta penduduk (2010)— setara jumlah penduduk Jakarta Timur. Mereka tersebar tidak merata hingga ke pulau-pulau kecil nan terpencil, berbicara dalam 129 bahasa, serta memiliki keragaman budaya, agama, dan tingkat peradaban yang berbeda.
Sejak masa prasejarah, Maluku dan Indonesia menjadi perlintasan penyebaran manusia di kawasan Indo-Pasifik, daerah yang terbentang dari barat Samudra Hindia hingga bagian tengah Samudra Pasifik.Jason A Wilder dan kawan-kawan dalam Genetic Continuity Across A Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia (2011) menyebut, pada 32.500 tahun yang lalu, penduduk dari kawasan barat Indo-Pasifik bergerak menuju Papua dan Australia melalui Indonesia, termasuk Kepulauan Maluku. Mereka jadi nenek moyang orang Papua dan Australia.
Sekitar 3.500 tahun lalu, orang Asia berbahasa Austronesia bergerak melalui Filipina menuju pulau-pulau di Asia Tenggara dan Oseania, juga melalui Maluku. Bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang digunakan di Asia Tenggara, Madagaskar, Taiwan, dan barat Oseania.
Penduduk pertama yang mendiami Maluku, menurut M Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah (2007), berasal dari campuran ras Mongoloid (dari Asia) dan Austromelanosoid (dari Melanesia). Akan tetapi, kelompok ras Austromelanosoid lebih mendominasi. Mereka tiba di Maluku secara bergelombang dan menempati wilayah yang terisolasi.
Manusia di Kepulauan Maluku makin beragam saat orang Negroid berbahasa Austronesia tiba sekitar 2.000 tahun lalu. Kedatangan mereka diikuti orang Melayu secara bergelombang. Gelombang awal orang Melayu tersingkir dan masuk ke pedalaman, menjadi suku-suku terasing yang ada saat ini. Adapun orang Melayu yang datang belakangan, tinggal di tepi pantai.Sejak kehadiran orang Negroid, budaya masyarakat berubah. Kegiatan ekonomi mulai dikenal. Meski tidak diketahui pasti lingkup kegiatan ekonominya, di awal milenium itu, perdagangan antarpulau diyakini sudah terjadi.
Cengkeh dan pala asal Maluku dibawa pelaut China, Arab, India, Melayu, dan Jawa hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Itu dibuktikan dengan ditemukannya cengkeh di China pada masa Dinasti Han (206 SM-220 SM) dengan sebutan thing-hiang atau rempah kuku. Rempah juga sudah ada di Eropa sejak era Ptolomeus (305 SM-30 SM) yang dibawa pedagang Arab dan India, seperti disebut Jack Turner dalam Spice, The History of A Temptation (2005).
Daerah penghasil rempah yang dikenal saat itu adalah Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti. "Maluku menjadi sentral pergerakan manusia karena rempah," ujar Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Maluku Utara Syahril Muhammad. Selama berabad-abad, para pelaut itu tidak hanya berdagang, tetapi juga bermukim, bergaul, dan menikah dengan warga lokal.
Perburuan rempah
Besarnya manfaat dan tingginya harga rempah di Eropa membuat bangsa-bangsa Barat ingin mencari rempah langsung ke sumbernya.
Bangsa Eropa pertama yang tiba di Ternate adalah Portugis, tahun 1512. Disusul Spanyol, Inggris, dan Belanda. Mereka ingin memonopoli perdagangan dan wilayah dengan memanfaatkan persaingan di antara empat kesultanan di Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Penguasaan itu membawa derita panjang bagi rakyat. Peperangan, pembunuhan, dan pengusiran warga dari tanahnya, hingga penebangan pohon cengkeh."Penebangan pohon cengkeh di Ternate dan Tidore oleh Belanda adalah tindakan paling menyakitkan," tambah Syahril. Penebangan dilakukan karena Belanda ingin memindahkan perkebunan cengkeh ke Ambon, Saparua, dan Seram agar lebih mudah dikendalikan.
Belanda juga mengembangkan Kepulauan Banda sebagai basis perkebunan pala. Mereka mengusir orang Banda yang tak tunduk pada kemauan mereka dan mendatangkan orang Jawa, Buton, dan Makassar untuk bekerja di perkebunan orang Belanda.
Semasa penjajahan bangsa Eropa, pedagang China dan Makassar tetap datang ke Maluku. Mereka mengembangkan perdagangan non-rempah dengan membeli burung cenderawasih, kulit penyu, sirip hiu, mutiara, kulit kerang, dan tripang untuk ditukar dengan beras atau aneka porselen.
Seiring surutnya perdagangan rempah di abad ke-18 dan Indonesia Merdeka di tahun 1945, warga berbagai bangsa tidak serta-merta meninggalkan Maluku. Mereka tetap tinggal di sana dan menjadi orang Maluku.
Konflik
Selama ratusan tahun, keberadaan aneka suku bangsa, agama, dan budaya itu tak menimbulkan persoalan. Kehadiran suku-suku bangsa Nusantara lainnya ke Kepulauan Maluku seiring kemajuan pembangunan makin memperkaya keragaman yang ada.
Namun, ikatan persaudaraan itu koyak saat pecah konflik sosial yang dibalut kepentingan politik pada 1999-2004. Kepercayaan sebagai orang basudara pupus, tergantikan kecurigaan hanya karena agama dan suku mereka berbeda. Mereka mengingkari keragaman orang Maluku yang sudah ada ribuan tahun.Kemajuan peradaban yang sudah dicapai bagai dicampakkan. Kota hancur, kualitas pendidikan dan kesehatan ambruk, dan ekonomi masyarakat berantakan.
Bangsa-bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Belanda, melakukan kolonisasi, memperkenalkan agama Katolik dan Kristen, membentuk komunitas, membangun benteng pertahanan dan rumah ibadah. "Kolonialisme tidak bisa diidentikkan dengan agama Kristen dan Katolik karena tindakan kolonial justru mereduksi nilai agama," ujar Direktur Pusat Studi Mediasi dan Rekonsiliasi, Institut Agama Islam Negeri Ambon Abidin Wakano.
Menurut dia, menghadapi dunia yang semakin terbuka, dan Maluku yang akan semakin multikultur, semangat pela gandong perlu direvitalisasi dan ditransformasi. Ikatan persaudaraan antarnegeri karena perjanjian atau keturunan tanpa memandang agama itu perlu diperluas dengan melibatkan institusi yang makin beragam (tidak hanya negeri/desa) serta suku-suku bangsa mana pun yang hidup di Maluku.Namun, itu tidak mudah. Masyarakat yang semakin individualistis, pragmatis, dan materialistis serta kepentingan politik praktis, yang seringkali mereduksi nilai agama dan mengabaikan budaya, akan terus menggerogoti semangat persaudaraan.
Ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipata dua... Saling berbagi, menghargai, dan menyayangi dalam suka dan duka orang Maluku. (M ZAID WAHYUDI)
Editor : I Made Asdhiana
Anda sedang membaca artikel tentang
Di Maluku, Bangsa-bangsa Dunia Bertemu
Dengan url
http://lovingmothertochild.blogspot.com/2013/10/di-maluku-bangsa-bangsa-dunia-bertemu.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Di Maluku, Bangsa-bangsa Dunia Bertemu
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Di Maluku, Bangsa-bangsa Dunia Bertemu
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar